Menyeduh Buku: Bumi Manusia

Menyeduh Buku: Bumi Manusia



Informasi tentang buku
Judul Buku: Bumi Manusia
Penulis: Pramoedya Ananta Toer
ISBN: 9789799731234
Halaman: 551
Pertama terbit: 1980
Bahasa: Bahasa Indonesia
Genre: Roman

****
The Reason I Read

Akhirnya aku membaca buku ini, buku yang sebelumnya belum ada dalam benakku, buku yang mungkin tidak pernah kupikir akan dibaca. Karena terdorong ucapan teman dan gaungnya begitu rupa tahun lalu (difilmkan), akhirnya aku membeli juga buku ini dan menyelami era jaman kolonial abad ke- 20 di Indonesia.

Dulu aku berfikir buat apa baca buku yang bercerita macam novel, cerpen atau sejenisnya. Lambat laun aku jadi mengerti dan makin berminat pada buku bercerita seperti contohnya membacai bukunya Pram ini. Dari sini aku tahu beberapa istilah masa lampau dan istilah yang jarang diketahui orang seperti Gundik, Orang Indo, Orang totok, kolonialisme, mata uang Gulden, gambaran pemerintahan tempo dulu dan lain-lain. Dengan buku how to atau teori mungkin aku dipaparkan secara terbuka dan langsung ke inti suatu pokok bacaan, namun susah sekali bagiku untuk mengendapkan lebih dalam ke pikiran. Diawal mungkin ingat namun beberapa tahun bisa jadi aku lupa. Berbeda dengan buku bercerita  aku dibawa dalam ruang imaji yang menaut dengan fakta-fakta, aku tidak disuruhnya menghafal namun secara otomatis mengingat. Sungguh menguntungkan, menurutku.

***
Tokoh

Minke adalah nama yang diberikan oleh guru di sekolahnya di HBS (SMA kala itu). Sebuah panggilan yang tidak disengaja, malah tergolong ejekan diawal yang diduga diserempetkan menjadi “monkey”. Namun Ia yang bukan nama aslinya itu lebih memilih memperkenalkan diri kemana-mana sebagai Minke, seorang pribumi yang bukan siapa siapa.

Tapi tahukah, bahwa Minke sebenarnya anak yang cukup penting dikalangan Pribumi. Yah mana mungkin seorang pribumi biasa dapat masuk ke sekolah yang dibangun Belanda kala itu. Tak mungkin kan?. Dan eng ing eng Minke memang bukan siapa yang seperti diterjemahkannya sendiri, ia tidak lain adalah anak Bupati di daerah jawa (tidak disebutkan secara langsung kabupaten apa, yang jelas anak Bupati yang baru dilantik). Pada kala itu, hanya anak pribumi priayi yang bisa sekolah seperti anak Bupati.

Minke juga bukan hanya sebatas punya peran sebagai anak Bupati. Tanpa sepengetahuan banyak orang ia juga menulis banyak artikel dan cerita di surat kabar. Lewat itu ia menulis banyak hal yang dilandaskan atas dasar kehidupannya sendiri. Nama penanya adalah Max Tollenaar. Semacam nama eropa bukan? Hihihi.

Eropa adalah peradaban baginya. Ia sangat menyanjung bagaimana bangsa eropa mengembangkan ilmu pengetahuan hingga rasanya penampilan dan setengah dari jiwanya sudah ke eropa eropaan. Namun dilubuk hatinya ia juga heran kenapa mereka mengembangkan peradaban namun mengucilkan bangsa lain, seperti bangsa nenek moyangnya, Jawa. Ia malu kadang-kadang. Sungguh pergolakan batin bagi Minke.

****
Seduhan
Titik mula cerita diawali dari temannya yaitu Robert suurhof yang mengajak Minke ke rumah seorang Nyai Gundik (Gundik adalah seorang selir atau pasangan atau seorang istri yang dibeli dan tidak ada ikatan resmi dari negara).

Masuk ke Rumah nyai Gundik sangat berkonotasi negatif kala itu, awalnya Minke juga berfikir seperti itu namun setelah melihat secara langsung dan dipertemukannya dengan Annelies serta Nyai itu sendiri, pandangannya perlahan sirna, ia begitu terkesima dengan dua sosok itu.

Nyai seorang terpelajar otodidak tak pernah sekolah dan Annelies cantiknya bukan main. Bukan hanya cantik namun juga terampil dalam banyak hal.

Bagaimana bisa seorang nyai nyai yang tidak sekolah bisa terpelajar semacam itu?, nyai bukan mirip pribumi malah lebih condong dengan adab ke-eropaannya. Satu satunya yang terlihat Jawa (pribumi) mungkin adalah pakaian yang dikenakannya (kebaya kalau tidak salah).

Begitu juga dengan Annelies entah karena sudah ikatan, sejak obrolan pertama mereka sudah seperti kenal dekat, hingga Minke sudah berani mencium pipi Annelies yang kemudian direspons dengan hening namun dalam hati juga menginginkannya.

Sekerjap Annelies melapor pada Nyai (atau mamanya). Namun tak dinyana, nyai tak marah sedikitpun malah sebaliknya ia senang karena melihat anaknya senang namun tidak diutarakan secara langsung. Selepas itu Nyai berpesan pada Minke untuk sering sering ke rumahnya

Pergolakan batin Minke makin meledak, tanya dalam dirinya tak henti henti. Dari sejak itulah Minke sering ke rumah nyai, untuk menemui Annelies dan menelusur lebih tentang siapa nyai itu.

Selanjutnya beragam masalah datang seperti Annelies sakit keras setelah ditinggal Minke, Ayah Annelies meninggal, adanya praduga pembunuhan terhadap minke, hingga aksi tak terpuji yang merendahkan Minke di sekolah

Pada ujung cerita disuguhkan kembali perpisahan yang hampir mirip dengan kisah mama Annelies. Namun dalam bentuk dan rupa yang berbeda. Menyedihkan sekali.


***
Review

Membacai buku ini mengembalikkanku ke jaman yang dimana aku sendiri tidak pernah terpikir bisa seperti itu. Sempat orang tuaku bercerita bahwa ketika mereka kecil dulu (sekitar tahun 50-60an di salah satu kota besar di Jawa) akses kemana-mana itu masih sering susah, belum ada lampu yang banyak macam jam sekarang dimana tentunya dimana-dimana gelap. Pada titik kesimpulan cerita orang tuaku memberikan pandangan bahwa hidup dijaman dulu susahnya minta ampun dan tidak terlalu bisa bebas (apalagi kalau malam). Namun sebaliknya dibuku ini Pram membawaku ke jaman yang lebih tua lagi yaitu peralihan menuju abad ke 20. Pandanganku sama yaitu hidup serba susah namun perbedaannya terletak pada masih adanya kebebasan untuk bergerak. Seperti contohnya adanya sekolah, dokter, koran, kereta, jalan yang bagus, alat musik dan lainnya. Kupikir benar-benar tidak ada peradaban tetapi Pram memberikan aku pandangan bahwa jaman dulu juga mirip-mirip dengan jaman sekarang (secara dasar).

Aku begitu suka dengan banyak kata-kata yang diutarakan dalam buku, salah satu kata-kata yang paling mewakili buku adalah kira kira begini “seseorang sudah harus berlaku adil sejak dalam pikiran sebelum perbuatan”. Kata-kata itu menyiratkan bahwa seseorang seharusnya berlaku adil pada pemikiran diawal, seperti halnya memandang seorang Nyai dulu sebagai manusia dan bukanlah objektivitas negatif yang jikamana seseorang masuk ke rumahnya jadi negatif. Sungguh tidak enak bukan dinegatifkan padahal belum tentu kebenarannya seperti itu.

Ini juga berlaku seperti memandang rendah ras, suku, agama dan negara. Untuk itu sebelum adil ke tindakan perlulah kita berlaku adil (sama) sejak dalam pikiran.

Buku ini membukakan wawasan tentang dunia kolonialime di Indonesia jaman dulu seperti apa. Dari buku ini aku dapati juga rujukan buku buku yang lain seperti buku karangan Multatuli, Nyai Dasima dan Albert Camus yang barangkali akan aku bacai satu persatu.

Semoga bisa jadi bahan pertimbangan teman-teman yak.

***
Aku masih belajar dalam mereview, dengan menggandeng waktu tulisanku berusaha berubah secara beriringan kedepan. Doakan menjadi lebih baik dari hari ke hari.

Thanks

Komentar

Postingan Populer